Beranda | Artikel
Risalah Sekitar Berita Manusia Singgah Di Bulan
Senin, 5 April 2010

RISALAH SEKITAR BERITA MANUSIA SINGGAH DI BULAN

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Segala puji hanya untuk Allah k Rabb semesta alam, sholawat dan salam semoga selalu tercurah kehadirat baginda nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya dan shahabatnya serta orang-orang yang selalu mengikuti mereka dengan kebaikan sampai hari kiamat.

Telah mutawatir berita singgahnya pesawat antariksa di daratan bulan, setelah percobaan yang berulang-ulang yang mencurahkan kemampuan pemikiran, materi dan tekhnologi selama bertahun-tahun. Dan berita ini telah menimbulkan berbagai pertanyaan dan diskusi di antara manusia.

Ada yang mengatakan bahwa hal itu bertentangan dengan al-Qur’an. Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa hal itu benar, bahkan al-Qur’an pun telah menguatkannya.

Orang-orang yang menyangka bahwa berita itu menyelisihi al-Qur’an mengatakan: “Bahwa Allah telah memberitakan bahwa bulan itu berada di langit. Allah berfirman:

تَبَارَكَ الَّذِي جَعَلَ فِي السَّمَآءِ بُرُوجًا وَجَعَلَ فِيهَا سِرَاجًا وَقَمَرًا مُّنِيرًا

“Maha suci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang dan Dia menjadikan padanya matahari dan bulan yang bercahaya”.[(Al-Furqan:61]

Dan Dia juga berfirman:

وَجَعَلَ الْقَمَرَ فِيهِنَّ نُورًا وَجَعَلَ الشَّمْسَ سِرَاجًا

“Allah menjadikan padanya bulan sebagai cahaya, dan menjadikan matahari sebagai pelita” [Nuh :16]

Apabila bulan itu berada di langit maka tidak mungkin mencapai ke sana, karena Allah telah menjadikan langit sebagai atap bumi yang dijaga. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai makhluk yang paling mulia, dan bersamanya malaikat yang paling mulia, yaitu Jibril, (harus) meminta izin dan minta dibukakan pada tiap-tiap langit pada malam mi’raj. Mereka berdua tidak bisa langsung masuk kecuali setelah dibukakan untuk keduanya. Maka bagaimana mungkin hasil karya manusia bisa singgah di daratan bulan, padahal bulan itu berada di langit yang dijaga.

Sedangkan orang-orang yang beranggapan bahwa al-Qur’an menguatkan berita tersebut, mereka mengatakan: Bahwa Allah berfirman:

يَامَعْشَرَ الْجِنِّ وَاْلإِنسِ إِنِ اسْتَطَعْتُمْ أَن تَنفُذُوا مِنْ أَقْطَارِ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ فَانفُذُوا لاَتَنفُذُونَ إِلاَّ بِسُلْطَانٍ

“Wahai jama’ah jin dan manusia jika kamu sanggup menembus/melintasi penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak akan bisa menembusnya melainkan dengan sulthan (kekuatan).” [Al-Rahman: 33]

Sulthan (kekuatan) yang dimaksud pada ayat di atas adalah ilmu. Sedangkan mereka mampu melintasi penjuru dunia dengan ilmu, maka perbuatan mereka ini sesuai dengan Al-Qur’an dan tafsirnya.

Jika memang terbukti kebenaran berita yang telah mutawatir tentang turunnya pesawat ruang angkasa di daratan bulan, maka yang nampak bagiku adalah bahwa al-Qur’an tidak mendustakannya dan tidak membenarkannya. Tidak ada nash yang jelas di dalam al-Qur’an yang menyelisihinya, sebagaimana tidak ada di dalam al-Qur’an yang membenarkannya dan menguatkannya.

A). Adapun bahwa al-Qur’an tidak menyelisihi berita tersebut, sebab al-Qur’an adalah firman Allah Azza wa Jalla yang ilmuNya meliputi segala sesuatu.
Allah mengetahui perkara-perkara yang lampau, maupun perkara-perkara yang sedang terjadi, dan perkara-perkata yang akan datang, baik yang dilakukan oleh Allah sendiri maupun yang dilakukan oleh makhlukNya. Maka setiap yang telah terjadi atau akan terjadi, di langit atau di bumi, dari perkara yang kecil sampai perkara yang besar, yang nampak atau pun yang tidak nampak, sesungguhnya Allah mengetahui segalanya, dan perkara itu tidak akan tejadi kecuali dengan kehendak dan perintahNya, tidak lagi perdebatan dalam masalah itu.

Apabila demikian, sedangkan al-Qur’an adalah kalam Allah, dan Allah yang paling benar perkataanNya, dan siapakah perkataannya yang lebih benar dari perkataan Allah? Dan perkataanNya adalah sebaik-baik perkataan, dan paling nyata penjelasannya, dan siapakah perkataannya yang lebih baik dari perkataanNya? Maka tidaklah mungkin selamanya firmanNya yang berasal dari ilmuNya, yang merupakan puncak kebenaran dan penjelasan, bertentangan dengan kenyataan yang bisa dibuktikan. Demikian juga tidak mungkin selamanya ada kenyataan yang bisa dibuktikan bertentangan dengan nash al-Qur’an yang nyata.

Maka barang siapa yang memahami bahwa di dalam al-Qur’an ada sesuatu hal yang meyelisihi kenyataan, atau bahwa ada kenyataan yang bisa dibuktikan menyelisihi al-Qur’an, maka pemahamannya itu salah fatal.

Sedangkan ayat-ayat yang dianggap oleh sebagian orang menunjukkan keberadaan bulan di langit, maka pada ayat-ayat itu tidak ada penjelasan nyata yang menunjukkan bahwa bulan menempel dengan langit, yang langit itu sebagai atap bumi yang dijaga.

Memang, zhahir perkataan menunjukkan bahwa bulan berada di langit, akan tetapi jika telah nyata sampainya pesawat ruang angkasa di daratan bulan, maka hal tersebut sebagai bukti bahwa bulan tidak berada di langit bumi, yang merupakan atap bumi yang dijaga, akan tetapi bulan itu berada di orbit (garis edar) nya, yang terletak di antara langit dan bumi. Sebagaimana firman Allah:

وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ الَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ كُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ

“Dan Dialah yang menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan, masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya”. [Al-Anbiya’ 33]

Pada ayat lain Allah berfirman :

لاَالشَّمْسُ يَنبَغِي لَهَآ أَن تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلاَالَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ

“Tidaklah mungkin bagi matahari untuk mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang, dan masing-masing beredar pada garis edarannya” [Yasin:40]

Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Semua itu beputar sebagaimana alat tenun berputar pada tempat berputarnya.”

Ats-Tsa’laby dan Al-Mawardi menyebutkan dari Hasan al-Basry bahwa ia pernah berkata: “Matahari, bulan dan bintang berada pada orbitnya masing-masing yang terletak di antara langit dan bumi, tidak menempel pada langit, kalaulah menempel dengannya maka tidak mungkin bisa berputar”. Al-Qurthubi menyebutkan dari keduanya pada tafsir surat Yasin.

Perkataan bahwa matahari dan bulan berada orbitnya yang terletak antara langit dan bumi, hal ini tidak bertentangan dengan apa yang dikahabarkan oleh Allah bahwa keduanya berada di langit. Karena perkataan langit terkadang berarti setiap sesuatu yang tinggi. Ibnu Qutaibah berkata: “Setiap yang ada di atasmu disebut langit”. Jadi arti matahari dan bulan berada di langit, yaitu berada di ketinggian, atau di arah langit. Dan ada juga kata “langit” di dalam al-Qur’an dengan arti ketinggian. Sebagaimana di dalam firman Allah Azza wa Jalla:

وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَآءِ مَآءً مُبَارَكًا

“Dan Kami turunkan air yang membawa berkah dari langit (ketinggian)”. [Qaf: 9]

Yang dimaksudkan adalah hujan, dimana hujan turun bukan dari awan yang dijalankan di antara langit dan bumi.

Apabila memang benar apa yang mereka sebutkan tentang mendaratnya (pesawat ruang angkasa di) bulan, maka hal itu menambahkan ilmu kepada kita tentang ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) Allah yang agung ini. Yaitu bahwa planet bulan yang besar ini, juga planet lain yang lebih besar, berputar pada orbitnya yang terletak antara langit dan bumi sampai waktu yang Allah tentukan, dimana ia tidak berubah, tidak maju dan tidak mundur dari perjalanan yang telah ditetapkan padanya oleh yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.
Dan bersamaan dengan itu, kadang-kadang bulan menyinari dengan sempurna sehingga menjadi bulan purnama, dan kadang-kadang sebagiannya saja yang bersinar sehingga menjadi bulan biasa atau bulan sabit, yang demikian itu merupakan ketetapan yang Maha Kuasa lagi Maha Mengetahui.

Sedangkan perkara yang tersebar bahwa bulan berada di langit bumi, bintang merkuri berada di langit ke dua, venus berada di langit ketiga, matahari berada di langit ke empat, planet Mars berada di langit ke lima, Yupiter berada di langit ke enam, dan Saturnus berada di langit ke tujuh, maka sesungguhnya hal ini diambil dari para ilmuwan astronomi, yang tidak ada hadits yang shahih dari Rasul n . Yang hal itu ditunjukkan oleh perkataan Ibnu Katsir –yang beliau mempunyai wawasan yang luas- ketika mengomentari masalah matahari berada pada langit ke empat, beliau berkata: “Tidak ada di dalam syari’at yang menafikan hal itu, bahkan penglihatan –yaitu di waktu terjadi gerhana- menunjukkan tentang hal itu.”

Perkataan beliau: “Tidak ada di dalam syari’at yang menafikan”, dan pengambilan dalil yang beliau lakukan tentang kebenaran hal di atas berdasarkan penglihatan menunjukkan bahwa tidak ada di dalam syari’at sesuatu yang menetapkan bahwa matahari berada pada langit ke empat. Wallah a’lam.

B). Adapun keadaan al-Qur’an yang tidak menunjukkan sampainya pesawat antariksa ke bulan, karena orang-orang yang menyangka hal itu berdalil dengan firman Allah:

يَامَعْشَرَ الْجِنِّ وَاْلإِنسِ إِنِ اسْتَطَعْتُمْ أَن تَنفُذُوا مِنْ أَقْطَارِ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ فَانفُذُوا لاَتَنفُذُونَ إِلاَّ بِسُلْطَانٍ

“Wahai Jin dan manusia jika kamu sanggup menembus penjuru langit dan bumi maka lintasilah, kamu tidak akan dapat melintasinya melainkan dengan sulthan (kekuatan)”. [ar-Rahman: 33]

Mmereka menafsirkan kata sulthan (kekuatan) pada ayat tersebut dengan ilmu.

Pengambilan dalil ini tertolak dari berbagai segi:
1. Bahwa rangkaian ayat di atas menunjukkan bahwa tantangan ini akan terjadi pada hari kiamat nanti. Dan hal itu akan nampak jelas bagi siapa saja yang membaca surat tersebut dari awal. Karena pada awal surat ini Allah menyebutkan permulaan penciptaan jin dan manusia dan apa-apa yang ada di penjuru langit dan bumi yang Allah tundukkan terhadap para hambaNya. Kemudian Allah menceritakan akan binasanya apa saja yang ada padanya. Kemudian Allah berfirman:

سَنَفْرُغُ لَكُمْ أَيُّهَ الثَّقَلاَنِ

“Kami akan memperhatikan sepenuhnya kepadamu hai manusia dan jin”. [Ar-Rahman : 31]

Makna dari ayat di atas adalah perhitungan Allah terhadap makhlukNya (jin dan manusia), kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menantang makhlukNya dari golongan jin bahwa tidak ada tempat pelarian buat mereka, baik dari penjuru langit maupun dari penjuru bumi. Maka mereka tidak akan bisa lari, dan mereka tidak memiliki kekuatan untuk saling menolong sehingga selamat dari hukuman Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan kemudian Allah mengiringinya dengan menyebutkan balasan untuk orang yang berbuat jelek dengan balasan yang setimpal, dan untuk orang yang berbuat kebaikan dengan apa yang mereka harapkan.

Tidak ada keraguan bahwa susunan (rangkaian) perkataan itu menjelaskan dan menentukan arti. Mungkin ada kalimat yang sesuai pada satu tempat akan tetapi tidak sesuai (maknanya) pada tempat yang lain.

Anda mungkin kadang melihat satu kalimat yang mempunyai dua makna yang saling bertentangan, tetapi maksudnya dapat ditentukan dari keduanya berdasarkan rangkaian/susunan perkataan. Sebagaimana hal itu dikenal pada kata-kata yang memiliki arti yang bertentangan di dalam bahasa (Arab).

Kalau dimungkinkan ayat yang mulia tersebut merupakan berita tentang apa yang akan terjadi di dunia, tetapi sesungguhnya ayat tersebut pada posisi ini tidak sesuai sebagai berita tentang apa yang terjadi di dunia, bahkan telah pasti -berdasarkan rangkaian yang mendahului dan menyusul ayat tersebut- bahwa ayat tersebut merupakan ancaman dan pernyataan tidak mampu yang akan terjadi pada hari kiamat.

2. Sesungguhnya seluruh ahli tafsir menyebutkan bahwa ayat tersebut merupakan ancaman dan pernyataan tidak mampu (terhadap para jama’ah jin dan manusia), dan mayorits ahli tafsir menyatakan bahwa hal itu akan terjadi pada hari kiamat.

Syaikh Muhammad al-Amin as-Syanqity berkomentar tentang ayat ini di dalam surat al-Hijr pada firman Allah:

وَلَقَدْ جَعَلْنَا فِي السَّمَآءِ بُرُوجًا وَزَيَّنَّاهَا لِلنَّاظِرِينَ

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan gugusan bintang-bintang (di langit) dan Kami telah menghiasi langit bagi orang-orang yang memandanginya”. [Al Hijr:16-17]

Syaikh Muhammad al-Amin as-Syanqity mensifati orang yang menganggap bahwa ayat itu mengisyaratkan (manusia) dapat mencapai ke langit sebagai orang yang tidak mempunyai ilmu terhadap kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala.

3. Sesungguhnya jikalau ayat tersebut merupakan berita tentang apa yang akan terjadi, maka makna ayat itu adalah: “Wahai jama’ah jin dan manusia sesungguhnya kamu tidak akan sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi kecuali dengan ilmu”. Kalau demikian, maka itu merupakan sesuatu yang sudah nyata (tidak perlu diberitakan). Karena sesungguhnya segala sesuatu tidaklah bisa dicapai kecuali dengan mengilmui sebab-sebab untuk mencapainya dan mampu untuk melaksanakannya.

Maka arti tersebut menghilangkan keindahan dari makna dan posisi ayat. Karena ayat itu dimulai dengan peringatan yang keras, yaitu dengan firman Allah:

سَنَفْرُغُ لَكُمْ أَيُّهَ الثَّقَلاَنِ

“Kami akan memperhatikan sepenuhnya kepadamu hai manusia dan jin”. [ar-Rahman :31]

Kemudian diiringi dengan ancaman yang keras di dalam firmanNya:

يُرْسَلُ عَلَيْكُمَا شُوَاظٌ مِّن نَّارٍ وَنُحَاسٌ فَلاَ تَنتَصِرَانِ

“Kepadamu (jin dan manusia) dilepaskan nyala api dan cairan tembaga, maka kamu tidak dapat menyelamatkan diri(daripadanya)”. [Ar-Rahman : 35]

4. Nampak sekali bahwa ayat ini menunjukkan tentang tantangan ( Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap jin dan manusia). Karena:
a). Rangkaian ayat, baik sebelum ataupun sesudahnya.
b). Bahwa disebutkannya jama’ah jin dan manusia bersama-sama sebagai satu jama’ah, hal itu semisal firman Allah Subhanhu wa Ta’ala :

قُل لَّئِنِ اجْتَمَعَتِ اْلإِنسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَن يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْءانِ لاَيَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْكَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا

“Katakanlah: “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain”. [Al-Israa:88]

c). Bahwa firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : إِنِ اسْتَطَعْتُمْ (Jika kamu sanggup), nyata sebagai tantangan (Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap/kepada jin dan manusia ), apalagi ayat itu menggunakan kata (إنْ), bukan dengan kata إذا karena إذا menunjukkan kemungkinan terjadinya syarat, berbeda dengan kata إنْ

5. Sesungguhnya jika arti dari ayat tersebut sebagai berita, maka menngandung pujian bagi mereka, dimana mereka bisa mengerjakan dan menyelidiki apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala cemoohkan mereka, sehingga mereka dapat singgah di bulan. Sedangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya tidak bisa menggapainya, padahal mereka adalah orang-orang yang paling cepat mengerjakan perintah yang diserukan oleh Qur’an.

6. Sesungguhnya hukum di dalam ayat yang mulia mencakup jin dan manusia, padahal telah maklum bahwa ketika turunnya al-Qur’an jin mampu melintasi dari penjuru bumi menuju ke penjuru langit, sebagaimana Allah l menceritakan tentang mereka:

وَأَنَّا لَمَسْنَا السَّمَآءَ فَوَجَدْنَاهَا مُلِئَتْ حَرَسًا شَدِيدًا وَشُهُبًا وَأَنَّا كُنَّا نَقْعُدُ مِنْهَا مَقَاعِدَ لِلسَّمْعِ فَمَن يَسْتَمِعِ اْلأَنَ يَجِدْ لَهُ شِهَابًا رَّصَدًا

“Dan sesungguhnya kami (para jin) telah mencoba mengetahui (rahasia) langit, maka kami mendapatinya penuh dengan penjagaan yang kuat dan panah-panah api yang mengintai ( untuk membakarnya)” [Al-Jin: 8-9]

Kalau demikian, maka bagaimana Allah menyatakan mereka lemah terhadap sesuatu yang mereka mampu melakukannya (melintasi penjuru bumi dan langit). Apabila ada yang berkata: “Sesungguhnya mereka tidak bisa (melintasi penjuru langit dan bumi) setelah diutusnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka kami katakan bahwa ini menunjukkan bahwa maksud ayat itu untuk menyatakan mereka lemah, bukan sebagai berita.

7. Bahwa ayat yang mulia tersebut diiringi dengan firman Allah:

يُرْسَلُ عَلَيْكُمَا شُوَاظٌ مِّن نَّارٍ وَنُحَاسٌ فَلاَ تَنتَصِرَانِ

“Kepada kamu (jin dan manusia) akan dilepaskan nyala api dan cairan tembaga, maka kamu tidak dapat menyelamatkan diri dari padanya”. [Ar-Rahman: 35]

Dan makna ayat tersebut adalah–Wallahu A’lam-: “Sesungguhnya kamu wahai jama’ah jin dan manusia, jika kamu berusaha melintasi langit maka Allah benar-benar akan melepaskan kepadamu nyala api dan cairan tembaga”. Padahal sudah diketahui bahwa roket-roket (pesawat-pesawat antariksa) itu tidak dikejar oleh nyala api dan cairan tembaga, maka bagaimana mungkin hal itu adalah yang dimaksudkan oleh ayat tersebut.

8. Penafsiran mereka arti dari kata “sulthan” dalam ayat tersebut dengan ilmu perlu dilihat kembali. Karena kata “sulthan” itu berarti sesuatu yang mempunyai kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang terhadap apa yang ingin dia kuasai atau dia kalahkan, sehingga maknanya berbeda sesuai dengan kedudukan/posisi. Jika berada pada posisi perbuatan dan yang semacamnya, maka yang dimaksudkan adalah kekuatan dan kekuasaan. Allah berfirman:

إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَى الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ إِنَّمَا سُلْطَانُهُ عَلَى الَّذِينَ يَتَوَلَّوْنَهُ وَالَّذِينَ هُمْ بِهِ مُشْرِكُونَ

“Sesungguhnya syaitan itu tidak memiliki sulthan (kekuasaan) atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Rabbnya. Sesungguhnya kekuasaannya (syaithan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah” [An-Nahl : 99-100]

Kata “sulthan” pada ayat ini artinya adalah kekuasaan, tidak sesuai jika diartikan dengan “ilmu”. Demikian pula kata “sulthan” pada ayat yang sedang kita bahas, karena “melintasi” (penjuru langit dan bumi) merupakan perbuatan/pekerjaan yang membutuhkan kekuatan dan kemampuan, dengan ilmu saja tidaklah cukup. Mereka tidak akan sampai singgah ke bulan hanya dengan ilmu saja, akan tetapi dengan ilmu dan kekuatan/kemampuan serta sebab-sebab/jalan-jalan yang Allah tundukkan untuk mereka. Dan apabila kata “sulthan” digunakan di saat perdebatan, maka maksud kata itu adalah bukti dan alasan yang bisa mengalahkan musuhnya.

Allah berfirman:

إِنْ عِندَكُم مِّن سُلْطَانٍ بِهَذَآ

“Kamu tidak mempunyai sulthan (hujjah) tentang ini”. [Yunus ; 68]

Sulthan di sini berarti alasan dan bukti. Dan tidak ada di dalam al-Qur’an kata sulthan dengan arti ilmu semata-mata. Bahkan akar kata sulthan menunjukkan bahwa yang dimaksudkan sesuatu yang memiliki kekuasaan, kemampuan dan kemenangan bagi seorang.

Jelas sudah bahwa ayat yang mulia tersebut tidak mengisyaratkan tentang peristiwa mendaratnyan pesawat ruang angkasa di bulan. Dan berbagai sisi yang telah kita sebutkan tadi ada yang nampak jelas, dan ada pula yang membutuhkan perenungan. Kami memperingatkan hal itu hanyalah karena khawatir dari menafsirkan kalam Allah dengan apa yang tidak dikehendaki oleh kalam Allah tersebut. Karena yang demikian itu mengandung dua bahaya:

a. Menyelewengkan kalimat-kalimat dari tempat-tempatnya, yaitu dengan mengeluarkan dari maksud arti yang sebenarnya.
b. Berkata atas Allah tanpa ilmu. Karena dia menganggap bahwa Allah menginginkan arti ini, padahal itu menyelisihi susunan ayat. Sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas hamba-hambaNya dari berkata atas Allah dengan apa yang ia tidak mereka ketahui.

Masalah terakhir adalah : Apabila memang benar berita tentang turunnya pesawat antariksa di daratan bulan, yang dipertanyakan adalah, apakah mungkin manusia juga dapat menetap di daratannya (hidup di bulan-red)?

Jawab:
Yang nampak dari keterangan al-Qur’an, hal semacam ini tidak mungkin terjadi, dikarenakan manusia tidaklah mungkin bisa hidup kecuali di bumi. Allah berfirman:

فِيهَا تَحْيَوْنَ وَفِيهَا تَمُوتُونَ وَمِنْهَا تُخْرَجُونَ

“Allah berfirman: “Di bumi itu kamu hidup dan di di bumi itu kamu mati, dan dari bumi itu (pula) kamu akan dibangkitkan”. [Al-A’raf: 25]

Dalam ayat di atas Allah membatasi kehidupan, kematian dan kebangkitan adalah di bumi. Bentuk pembatasan dalam ayat ini adalah mendahulukan sesuatu yang pada dasarnya harus diakhirkan. [1] Semacam ayat ini adalah firman Allah:

مِنْهَا خَلَقْنَاكُمْ وَفِيهَا نُعِيدُكُمْ وَمِنْهَا نُخْرِجُكُمْ تَارَةً أُخْرَى

“Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu, dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu, dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain”. [Thaha: 55]

Yaitu Allah membatasi permulaan ciptaan dari bumi, dan bahwa ke bumi-lah kita akan dikembalikan setelah kematian, dan dari bumi pula kita akan dibangkitkan dari kematian di hari kiamat. Sebagaimana juga ada ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa bumi adalah sebagai tempat kehidupan manusia. Allah berfirman:

وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيهَا مَعَايِشَ وَمَن لَّسْتُمْ لَهُ بِرَازِقِينَ

“Dan Kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan (Kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki kepadanya”. [Al Hijr:20]

Zhahir al-Qur’an -tanpa keraguan lagi- menjelaskan bahwa tidak ada kehidupan buat manusia kecuali di bumi ini, yang dari bumi ini manusia diciptakan, dan kepadanya ia akan dikembalikan, dan darinya ia akan di bangkitkan.

Maka kita wajib meyakini zhahir al-Qur’an tersebut, dan jangan sampai persangkaan kita di dalam mengagungkan kreasi makhluk menjauhkan kita sehingga menyelisihi zhahir al-Qur’an dengan perkiraan.

Kalau seandainya ada seorang manusia mampu turun (hidup) di daratan bulan, dan hal itu nyata dan pasti, maka dimungkinkan untuk membawa pengertian kehidupan dalam ayat tersebut ialah kehidupan yang tetap secara jama’ah seperti layaknya kehidupan manusia di bumi, sedangkan hal ini mustahil. Allah a’lam

Dan selanjutnya, bahwa pembahasan dalam masalah ini bisa jadi termasuk ilmu yang tidak diperlukan, seandainya tidak adanya pembahasan dan diskusi sehingga sebagian orang berlebih-lebihan menolak dan mengingkarinya sedangkan sebagian yang lain berlebih-lebihan di dalam menerima dan menetapkannya.

Golongan pertama menjadikan berita itu bertentangan dengan al-Qur’an, sedankan golongan lain menguatkannya dengan al-Qur’an. Maka aku ingin menulis apa yang sudah tercantum di sini dengan sebatas pemahamanku yang dangkal dan ilmuku yang terbatas.

Dan aku memohon kepada Allah supaya Ia Subhanahu wa Ta’ala menjadikannya ikhlas karena mengharap wajahNya, bermanfaat untuk hamba-hambaNya. Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala Rabb semesta alam, sholawat dan salam semoga tercurahkan kepada baginda Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya dan para sahabat-shahabatnya.

[Diterjemahkan oleh Mahrus dari Risalah Haula Ash-Shu’ud Ilal Qamar, di dalam kitab Majmu’ Fatawa Wa Rasail Fadhilatus Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, V/319-327]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05//Tahun V/1422H/2001M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Yaitu semestinya adalah: “Kamu hidup di bumi itu dan kamu akan mati di di bumi itu, dan (pula) kamu akan dibangkitkan dari bumi itu, tetapi pada ayat itu kata “di bumi” diletakkan di depan, menurut kaedah bahasa Arab hal ini menunjukkan sebagai pembatas -red


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2697-risalah-sekitar-berita-manusia-singgah-di-bulan.html